Sedangkan menurut Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad yang akrab dipanggil Cak Fu ada lima langkah untuk menghilangkan praktik kekerasan di pondok pesantren. Pertama, mendorong agar pengasuh dan pengurus pesantren merumuskan kebijakan yang maslahat. Kedua, pengasuh dan pihak pesantren harus memiliki kebijakan atau sistem pencegahan perundungan atau praktik kekerasan yang baik. Misal ada aturan sanksi tegas. Ketiga, perlu adanya monitoring dan evaluasi berkala terhadap kebijakan dan sistem pencegahan perundungan/kekerasan di pesantren. Keempat, mendorong agar pengasuh, pengurus serta pembina pesantren membuat program selingan yang mampu menarik serta menampung minat dan bakat santri. Kelima, para pendidik di pesantren harus membangun komunikasi intens dengan santri (NU Online, Rabu, 12/04/23)
Bagaimana Dalam Perspektif Kesehatan?
WHO mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial, dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kecacatan. Bagi para pelaku kekerasan mungkin mereka sehat secara fisik, social ataupun kecacatan namun jika ditelusuri ada permasalahan mental yang terjadi sehingga pada tega melakukan tindakan penganiayaan hingga kematian.
Psikolog Klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Indria Laksmi Gamayanti, mengatakan kekerasan pada anak bisa dilakukan oleh siapa saja, sayangnya menurut penelitian banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa terdekat yang justru seharusnya bisa menjadi pelindung dari anak tersebut. Gamayanti menyebutkan ada tiga macam bentuk kekerasan pada anak, yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosi, dan kekerasan seksual. Saat anak terjadi kekerasan fisik dan kekerasan seksual, pasti diikuti dengan kekerasan emosi atau psikis. Meski begitu, kekerasan yang paling banyak terjadi dan belum banyak disadari adalah kekerasan emosi.
Kekerasan emosi yaitu saat anak mendapatkan ujaran kemarahan, kebencian, penghinaan, dan bentuk kekerasan verbal lainnya. Pelaku kekerasan pada anak, seringkali orang yang harusnya menjadi pelindung, bisa guru atau orang tua. “Secara psikologis, pelaku kekerasan cenderung memiliki gangguan kesehatan mental dalam dirinya sendiri. Faktor pemicu dari tendensi tindakan kekerasan pada pelaku juga bermacam-macam, mulai dari kesiapan mental orang tua, kondisi ekonomi, hingga pengalaman kekerasan serupa di masa kecil,” katanya.
“Bayangan masa lampau atau trauma masa kecil orang tua memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan tindakan kekerasan serupa atau lebih terhadap anaknya,” kata Gamayanti.
Tidak hanya oleh orang dewasa, kekerasan juga dapat terjadi pada sesama anak. Bentuk kekerasan ini banyak ditemui dalam kasus-kasus perundungan pada lingkungan sekolah, pesantren atau teman bermain. Menurut Gamayanti, penyebab anak melakukan tindakan kekerasan kepada sesamanya juga bisa disebabkan dari lingkungan dan pola asuh orang tua.
“Bisa jadi anak tersebut juga menerima kekerasan dari orang tua, atau kurangnya validasi sehingga cenderung mencari validasi pada sesamanya,” tambahnya (HarianJogja, 31/12/24)
Psikolog, Praktisi Perlindungan Perempuan dan Anak Jatim Riza Wahyuni SpSi MSi mengatakan, di dalam psikologi ada istilah yang disebut juveniledelinquency. Berdasarkan data yang dia miliki secara pribadi, ada beberapa hal mengapa anak-anak berani bertindak sadis dan melawan hukum.
Artikel Terkait
Pemerintah Tetapkan Usia Pensiun Naik Jadi 59 Tahun, Apa Saja Manfaatnya?
Ratusan Kepala Sekolah Banyuwangi Ikuti Pelatihan Kepemimpinan Berbasis Welas Asih
Karen Bass, Wali Kota Los Angeles Bikin Geram Warganya Malah Pergi ke Ghana Saat Terjadi Kebakaran
Informasi Beasiswa; Tahun 2026, Ajinomoto Berikan Beasiswa S2 ke Jepang Untuk Pelajar Indonesia
Dipecat dari Timnas Indonesia, Shin Tae Yong Terima Pesangon dengan Nilai Ini