Kabar24.id - Kalau menyebut nama RA Kartini, otomatis yang terlintas adalah sosok perempuan pemberani yang memperjuangkan pendidikan dan hak-hak perempuan di masa penjajahan. Ia adalah simbol emansipasi yang dihormati hingga kini, bahkan diabadikan dalam peringatan Hari Kartini tiap tanggal 21 April.
Namun, di balik nama besar Kartini, terdapat figur penting yang jarang disorot. Dialah Ngasirah, perempuan sederhana yang melahirkan dan mendidik Kartini dengan kasih dan keteguhan hati. Ngasirah bukan wanita bangsawan.
Ia hanya anak seorang mandor perkebunan tebu di Mayong. Meski demikian, kehidupannya menjadi titik awal lahirnya pemikiran-pemikiran besar putrinya.
Ngasirah adalah istri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, ayah Kartini. Tapi bukan sebagai istri utama. Karena statusnya yang bukan keturunan ningrat, ia hanya menjadi selir. Saat pemerintah kolonial mengharuskan seorang bupati menikahi perempuan bangsawan, posisi Ngasirah pun tergeser.
Baca Juga: Kartini Zaman Now di Industri Migas: Perempuan Unggul Bawa Transformasi Energi di Pertamina
Ia harus merelakan tempat tinggalnya berpindah ke belakang pendopo, jauh dari ruang utama keluarga. Bahkan anak-anaknya pun diwajibkan memanggilnya dengan sebutan 'Yu', yang setara pelayan istana.
Namun cinta Kartini kepada sang ibu tak bisa ditutupi. Meski harus menyebut ibunya dengan panggilan pelayan, ia lebih suka berada di sisi Ngasirah, hidup bersahaja dan jauh dari kemewahan.
Sikap ini menunjukkan bahwa sejak kecil Kartini sudah memiliki keberanian untuk melawan ketidakadilan. Ia tidak hanya membela ibunya secara diam-diam, namun juga secara terang-terangan.
Ketika Kartini akan menikah dengan Bupati Rembang, ia mengajukan syarat tegas: ibunya harus diterima masuk ke pendopo utama. Bukan sebagai pelayan, tapi sebagai ibu yang dihormati. Ia juga meminta izin mendirikan sekolah perempuan dan menolak tradisi Jawa yang memperlakukan wanita secara tak setara, seperti harus jongkok di hadapan suami.
Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya kepada sahabat di Belanda, seperti Stella dan Abendanon, banyak bersumber dari pengalaman pahit sang ibu.
Baca Juga: 30 Ucapan Hari Kartini 2025 untuk Memperingati Perjuangan dan Kehebatan Wanita Modern
Ia melihat langsung bagaimana luka batin ibunya dipaksa menerima keberadaan istri lain dalam rumah yang sama. Dari sanalah lahir keberaniannya untuk menolak praktik poligami dan menuntut keadilan bagi perempuan.
Dalam salah satu suratnya, Kartini menulis, "Bagaimana saya bisa menghormati seorang pria yang dengan mudah menikahi perempuan lain hanya karena sudah bosan dengan istrinya?" Kalimat itu lahir dari luka yang dalam, namun menjadi senjata untuk membela perempuan lain agar tidak mengalami hal serupa.
Kartini wafat pada usia 25 tahun, hanya beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya. Meski singkat, hidupnya penuh makna dan warisan pemikiran yang terus hidup. Namun, semangat itu tak lepas dari sosok ibu sederhana bernama Ngasirah.
Artikel Terkait
Paula Verhoeven Diisukan Idap Penyakit Kritis, Pengacara Baim Wong Sempat Klaim Sebut Penyakit yang Tak Bisa Disembuhkan
Diisukan Idap Penyakit Kritis yang Tidak Bisa Disembuhkan, Paula Verhoeven Respon Begini
Kabar Duka dari Vatikan, Paus Fransiskus Meninggal Dunia di Usia 88 Tahun
Buka Audisi Film Suzzanna di Banyuwangi! Ini Peluang Emas Buat Kamu yang Ingin Jadi Aktor Film Horor Terkenal