Kabar24.id - Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yang datang bukan untuk menindas kearifan lokal, melainkan menyaring, mengarahkan, dan menyempurnakannya sesuai tuntunan wahyu. Islam tidak dibentuk dari kultur tertentu, melainkan menyesuaikan dengan kebutuhan manusia sejagat di manapun berada.
Dalam forum Gerakan Subuh Mengaji pada Ahad, 6 Juli, Cecep Taufiqurrohman dari Lembaga Pondok Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2 PPM) menjelaskan.
“Allah menurunkan wahyu kepada para nabi yang juga manusia biasa, bukan malaikat. Karena itu, implementasi wahyu pun sangat terikat dengan realitas manusia di bumi, termasuk dengan budaya dan kehidupan sosial-ekonominya.”
Baca Juga: Muhammadiyah Luncurkan Bank Syariah Matahari, Dorong Dana Jamaah untuk Dakwah Ekonomi Inklusif
Cecep mengingatkan bahwa Rasulullah adalah teladan yang nyata dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dalam Surah Al-Furqan ayat 20, para rasul digambarkan sebagai sosok yang makan, minum, dan berdagang—menunjukkan bahwa kehidupan spiritual Islam tidak terlepas dari dunia sosial-ekonomi masyarakat.
Ia menyebut dua prinsip utama misi kenabian yang relevan dalam memahami hubungan Islam dengan budaya lokal. Pertama, Islam bertujuan menegakkan keesaan Tuhan. Kedua, Islam hadir untuk menyempurnakan ajaran dan membersihkan praktik yang menyimpang di masyarakat.
Dengan prinsip itu, budaya lokal tidak ditolak mentah-mentah. Islam membuka ruang untuk interaksi, menyaring yang buruk, dan mengafirmasi yang sesuai nilai tauhid dan akhlak.
Baca Juga: Heboh! Speaker GBK Siarkan Suara Mendesah, Manajemen Minta Maaf dan Akui Kelalaian
Cecep menegaskan, “Islam tidak anti budaya lokal, bahkan telah membuktikan kemampuannya berdialog dengan berbagai budaya sejak lebih dari 1400 tahun lalu.”
Ia menambahkan bahwa keberhasilan Islam menyebar di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa syariat Islam tidak bertentangan dengan identitas budaya selama prinsip dasarnya dijaga. Islam bisa hidup berdampingan dengan budaya lokal di Eropa, Asia, dan Indonesia.
Mengutip pemikiran Ibnu Khaldun, Cecep menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membentuk budayanya melalui relasi dengan lingkungan. Oleh karena itu, wajar bila Islam sebagai agama sosial-spiritual ikut berdialektika dengan kebudayaan tersebut.
Baca Juga: Helmy Yahya Jadi Korban Pesawat Super Air Jet yang Delay di Banyuwangi, Langsung Bilang Begini
Contoh klasik yang diangkat adalah sistem pernikahan pra-Islam. Menurut riwayat dari Imam Al-Mawardi dan hadis Siti ‘Aisyah, terdapat empat jenis nikah di masa jahiliah.
Hanya satu bentuk, yaitu nikah wilâdah, yang diterima dan dijadikan sistem nikah sah dalam Islam karena menjunjung prinsip etika dan kesepakatan.