Selain KTP2JB, forum tersebut menghadirkan pembicara dari Dewan Pers, Bappenas, Kemenkumham, Viva Group, dan AJI Indonesia.
Ketua Komisi Kemitraan dan Hubungan Antar-Lembaga Dewan Pers, Rosarita Niken Widiastuti, menilai disrupsi teknologi dan menurunnya pendapatan iklan konvensional turut melemahkan ketahanan media.
Tekanan lain datang dari ketergantungan media pada algoritma platform digital yang menentukan distribusi konten berita.
Niken menjelaskan Perpres 32 Tahun 2024 menawarkan tiga prinsip utama: keadilan bagi industri media, peningkatan kualitas jurnalisme, dan transparansi algoritma.
Ia menyarankan adanya kolaborasi konkret seperti lisensi konten berbayar, program pelatihan, hingga sindikasi konten investigasi.
Direktur PT Visi Media Asia Tbk, Neil Tobing, menambahkan empat pilar untuk menjaga kesetaraan antara publisher dan platform digital.
Pilar tersebut mencakup perhitungan nilai ekonomi karya jurnalistik, aturan teknis Perpres 32/2024, peningkatan kredibilitas ekosistem media, serta penetapan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dinegosiasikan.
Neil mengingatkan bahwa independensi redaksi dan privasi audiens harus tetap menjadi batas yang tidak boleh dikompromikan.
Dari perspektif fiskal, Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Madya, Timon Pieter, menyampaikan peluang insentif vokasi dan penelitian bagi perusahaan media.
Ia juga menyebut kemungkinan insentif PPh badan bagi media yang memenuhi sejumlah kriteria tertentu.
Timon menegaskan belum ada insentif khusus bagi industri media, namun peluang pengajuan kebijakan dapat dibuka jika ada alasan kuat terkait tekanan transformasi digital.
Bappenas melalui Yunes Herawati memaparkan bahwa media berkualitas telah masuk dalam agenda RPJPN 2025–2045.
Bappenas menyusun intervensi kebijakan BEJO’S yang menekankan pentingnya media yang bertanggung jawab, edukatif, jujur, dan sehat secara industri.
Program tersebut kini memasuki tahap pengawalan implementasi bersama berbagai lembaga pemerintah dan organisasi pers.
Dari sisi regulasi, Junarlis dari Kemenkumham mencontohkan konsolidasi industri media di Denmark yang mencapai lebih dari 95 persen melalui lembaga manajemen kolektif.