• Minggu, 21 Desember 2025

Kampus di Polandia Digerebek, Sorotan Publik Mengarah ke Ijazah Doktor Hakim MK Era Jokowi

.
- Senin, 20 Oktober 2025 | 07:51 WIB
Kampus di Polandia Digerebek, Sorotan Publik Mengarah ke Ijazah Doktor Hakim MK Era Jokowi. (foto: Istimewa)
Kampus di Polandia Digerebek, Sorotan Publik Mengarah ke Ijazah Doktor Hakim MK Era Jokowi. (foto: Istimewa)

 

Kabar24.id – Polemik baru kembali menghampiri lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) usai muncul dugaan bahwa salah satu hakimnya, Arsul Sani, memperoleh gelar doktor dari universitas di Polandia yang kini tengah diselidiki otoritas setempat atas kasus ijazah palsu.

Isu ini mencuat setelah mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Romo Stefanus Hendrianto, menyinggung hal tersebut dalam podcast bersama Refly Harun yang tayang pada 14 Oktober 2025.

Baca Juga: Dian Novita Rela Pulang Kampung dari Amerika Untuk Tampil di Gandrung Sewu 2025 Banyuwangi

Dalam perbincangan itu, Romo Stefanus mengaitkan nama Arsul Sani dengan kasus yang menyeret Collegium Humanum – Warsaw Management University, kampus tempat sang hakim menempuh pendidikan doktoral.

“Universitas tempat dia belajar untuk S3 digerebek oleh KPK Polandia karena menjual ijazah palsu kepada banyak pejabat,” ujar Romo Stefanus dalam pernyataannya.

Baca Juga: Janji Purbaya di Tengah Bayang Pengangguran Muda Tertinggi ASEAN: Janji Akhir 2025 Cari Kerja Lebih Mudah

Ia menegaskan bahwa dirinya tidak menuduh langsung Arsul Sani, namun menilai hal tersebut layak diverifikasi mengingat posisi publik yang diemban oleh seorang hakim MK.

“Saya tidak menuduh ijazahnya palsu, tapi ini isu menarik karena kampusnya memang bermasalah dan para petingginya ditangkap,” tambahnya.

Baca Juga: Kemenpar RI Perkuat Wisata Banyuwangi, Gandeng Bali Barat dan Bali Utara, Gelar Pameran di Sanur Bali

Romo Stefanus menyoroti bahwa syarat menjadi Hakim MK mensyaratkan gelar doktor di bidang hukum, sementara proses seleksi kerap menitikberatkan pada gelar akademik tanpa memperhatikan kualitasnya.

Ia bahkan membandingkan ketentuan tersebut dengan syarat menjadi presiden atau wakil presiden yang hanya mewajibkan pendidikan setingkat SMA.

“Menjadi Hakim MK malah butuh S3, seakan-akan lebih tinggi dari presiden, padahal tanggung jawabnya juga besar,” katanya.

Dalam konteks yang lebih luas, Romo Stefanus menilai bahwa ketimpangan dalam aturan konstitusi dan seleksi pejabat publik ikut melahirkan fenomena gelar akademik yang hanya bersifat simbolik.

Halaman:

Editor: Anton Chanif M

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X