Kabar24.id - Alarm kerusakan alam di Jawa Timur semakin menguat seiring meningkatnya intensitas bencana dan degradasi lingkungan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Laporan terbaru menunjukkan bahwa kerentanan terhadap banjir, kekeringan, hingga pencemaran air kini berada pada titik kritis dan berdampak langsung pada keselamatan serta kualitas hidup masyarakat.
Baca Juga: WALHI Sebut Tujuh Perusahaan Diduga Picu Bencana Ekologis Terburuk di Tapanuli
Dalam catatan BPBD Jawa Timur, hingga 30 April 2025 tercatat 161 bencana, mulai dari angin kencang hingga banjir bandang yang menimbulkan kerugian besar bagi warga.
Selama empat bulan pertama 2025, bencana tersebut telah mengakibatkan 25 korban jiwa, 23 orang luka-luka, serta merusak lebih dari seribu rumah.
Baca Juga: Cak Imin Sebut “Kiamat Sudah Terjadi” Akibat Kelalaian Kolektif Soal Banjir Sumatera
Jika melihat tren sejak 2020 hingga 2024, bencana di Jawa Timur meningkat signifikan dan menunjukkan pola yang semakin mengkhawatirkan.
Kerusakan hutan menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya risiko bencana di wilayah ini.
Data Global Forest Watch mencatat bahwa sepanjang 2023, Jawa Timur kehilangan 189 hektar hutan primer, sehingga meningkatkan emisi karbon hingga ratusan ribu ton CO₂.
Dalam kurun 2002 hingga 2023, total kehilangan hutan primer mencapai 10,7 ribu hektar dan terus memperburuk kondisi ekosistem kawasan.
Situasi ini diperparah oleh catatan KLHK melalui SiPongi yang menyebutkan bahwa Jawa Timur menempati posisi ketiga dalam kasus karhutla sepanjang 2024, dengan luasan mencapai 18.822 hektar.
Hilangnya penyangga alam tersebut berkontribusi pada tingginya potensi banjir di wilayah dataran rendah.
BPBD Jawa Timur mencatat ada 717 kejadian banjir sejak 2024 hingga awal 2025, dengan tingkat risiko bervariasi dari rendah hingga tinggi.
Masalah banjir tidak lagi sekadar berkaitan dengan curah hujan, tetapi juga hilangnya daerah resapan dan terganggunya siklus hidrologi akibat deforestasi.