Kabar24.id - Ketika Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KJCB) diresmikan pada 2023, Presiden Joko Widodo menyebutnya sebagai simbol kemajuan transportasi Indonesia dan tonggak baru peradaban. Namun dua tahun kemudian, kenyataannya jauh dari narasi itu. PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai operator proyek mencatat kerugian lebih dari Rp. 2,6 triliun sepanjang 2024, dan pada semester pertama 2025 kembali merugi hampir Rp. 1 triliun. Pendapatan tiket belum mampu menutup biaya operasional, apalagi cicilan dan bunga pinjaman luar negeri.
Proyek yang diberi nama Whoosh, akronim dari “Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat”, justru menjadi simbol paradoks pembangunan, yaitu ambisi tinggi, biaya besar, manfaat terbatas. Ia bukan hanya persoalan ekonomi dan teknis, melainkan juga potret bias psikologis dan tarik menarik politik di balik kebijakan publik.
Baca Juga: Bukan Desa Biasa, Kemiren Banyuwangi Ini Raih Penghargaan Kelas Dunia
Tulisan ini akan mengupas mengenai proyek strategis Whoosh dengan menggunakan pisau analisa Stratejik Manajemen. Proyek ini sudah bermasalah sejak awal, dan ini sudah sering penulis sampaikan dalam Rapat Kerja dengan Kementerian BUMN maupun Rapat Dengar Pendapat dengan PT. Kereta Api Indonesia, ketika penulis masih ditugaskan di Komisi VI DPR RI. Proyek ini bisa diibaratkan sebagai bayi yang sudah sungsang sejak dari kandungan.
Artikel ini dimaksudkan sebagai refleksi kritis terhadap pengambilan keputusan strategis di tingkat pemerintah, terutama dalam proyek-proyek infrastruktur berskala besar. Dalam tulisan ini Penulis menyoroti pentingnya tata kelola berbasis data, transparansi fiskal, dan akuntabilitas publik agar proyek-proyek masa depan tidak terjebak dalam jebakan escalation of commitment dan bias politik. Pengalaman proyek Kereta Cepat Whoosh diharapkan menjadi cermin bagaimana kebijakan publik bisa kehilangan rasionalitas ketika kepentingan politik dan simbolik mengambil alih ruang perhitungan ekonomi.
Ketika Rasionalitas Tersandera Komitmen
Dalam teori manajemen keputusan (Decision Making Theory), apa yang terjadi pada proyek Whoosh dapat dijelaskan melalui konsep Escalation of Commitment (Staw, 1981). Fenomena ini menggambarkan kecenderungan pengambil kebijakan untuk terus mempertahankan keputusan yang salah karena sudah terlanjur banyak berinvestasi, baik uang, waktu, maupun reputasi.
Sejak awal, sinyal peringatan sudah muncul. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, bahkan menasihati Presiden Jokowi agar berhati-hati terhadap faktor finansial, teknis, dan risiko bencana alam di jalur proyek. Namun kritik itu tidak diindahkan. Proyek terus berjalan karena sudah menjadi “anak politik” rezim: ia harus lahir, apapun biayanya.
Teori sunk cost fallacy menjelaskan hal ini dengan baik, semakin besar biaya yang sudah dikeluarkan, semakin sulit bagi pengambil keputusan untuk berhenti. Dalam konteks politik, semakin tinggi ekspektasi publik, semakin kuat pula dorongan untuk menunjukkan hasil, meski secara ekonomi proyeknya tak lagi masuk akal.
Antara Geopolitik dan Gengsi Nasional
Keputusan pemerintah beralih dari Jepang ke Tiongkok sebagai kontraktor utama juga sarat dimensi politik. Jepang telah lebih dulu menyiapkan studi kelayakan yang konservatif dan berhati-hati dalam menghitung risiko. Namun Tiongkok datang dengan penawaran yang lebih cepat, lebih murah di atas kertas, dan yang paling menarik adalah tawaran untuk tidak membebani APBN, walau bunganya lebih tinggi.
Bagi pemerintah, tawaran ini tampak sempurna, proyek bisa dimulai segera, tanpa perlu persetujuan DPR untuk pembiayaan negara. Padahal di balik itu ada konsekuensi besar, keterikatan utang pada China Development Bank (CDB), ketergantungan teknologi, serta potensi intervensi dalam tata kelola proyek.
Keputusan semacam ini menggambarkan teori policy bargaining (Allison & Zelikow, 1999), yaitu kebijakan publik bukan hasil analisis rasional semata, tetapi kompromi antara kepentingan ekonomi, politik, dan diplomasi. Dalam kasus Whoosh, diplomasi ekonomi Tiongkok melalui Belt and Road Initiative tampaknya lebih menarik ketimbang kehati-hatian Jepang.
Bias Optimisme dan Ilusi Feasibility
Dalam banyak megaproject, kegagalan jarang disebabkan oleh niat buruk, melainkan oleh optimism bias dan strategic misrepresentation (Flyvbjerg, 2009). Pengambil keputusan meyakini bahwa proyek akan berhasil, risiko bisa dikelola, dan pasar akan merespons positif.
Studi kelayakan (feasibility study) proyek Whoosh yang memproyeksikan jumlah penumpang harian tinggi dan tarif premium tampak terlalu optimistis. Dalam FS dihitung jumlah penumpang harian mencapai 40.000 dengan tarif Rp. 400.000,- per penumpang. Realitas di lapangan menunjukkan penumpang harian jauh di bawah target, hanya 16.000 – 18.000 per hari dengan harga tiket di Rp. 250.000,-, sementara biaya operasional melonjak. Artinya, proyeksi manfaat ekonomi jauh meleset.
Fenomena ini bukan khas Indonesia. Flyvbjerg mencatat, sembilan dari sepuluh proyek transportasi besar di dunia mengalami cost overrun rata-rata 28% dan demand shortfall hingga 40%. Yang membedakan, di negara maju kesalahan itu dikoreksi dengan evaluasi publik dan audit ketat. Di Indonesia, kritik sering dianggap sebagai hambatan politik.