OPINI - Era digital saat ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Teknologi berkembang begitu pesat, menghadirkan berbagai kemudahan dalam berkomunikasi, belajar, bekerja, juga membangun hubungan sosial. Namun di balik segala kemudahan tersebut, tersimpan pula tantangan besar yang tidak bisa diabaikan, utamanya bagi generasi muda. Kecanduan gawai, lunturnya nilai-nilai etika, hingga problem kerusakan mental dan sosial generasi saat ini menjadi PR besar.
Dilansir dari situs orangtuahebat.id, secara statistik, data menunjukkan penduduk Indonesia menjadi penduduk yang terparah dalam kecanduan penggunaan gawai atau gadget. Dalam State of Mobile 2024 yang dirilis oleh Data AI warga Indonesia menjadi pengguna yang paling lama menghabiskan waktu dengan perangkat mobile seperti HP dan tablet pada 2023 yaitu 6,05 jam setiap hari. Dan berdasarkan Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, sebanyak 143,26 juta orang atau 54,68 persen dari populasi Indonesia menggunakan internet. Dan pengguna internet terbesar di usia muda yaitu 13-18 tahun dengan persentase 75,50 persen.
Bagi pemuda hari ini yang akrab disebut dengan istilah generasi Z, fenomena era digital menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi, mereka kerap dipandang sebagai generasi yang rapuh secara mental dan mudah terpengaruh arus media. Namun di sisi lain, Gen Z justru menyimpan potensi besar sebagai agen perubahan.
Mereka tumbuh dengan kemampuan literasi digital yang tinggi, berpikir kritis, dan cepat dalam menyerap informasi. Media sosial yang sering dituduh membawa dampak negatif, justru kerap dimanfaatkan oleh Gen Z sebagai ruang untuk menyuarakan keadilan, hingga menggerakkan opini publik. Fakta menunjukkan bahwa banyak aksi-aksi sosial dan solidaritas digital yang justru digerakkan oleh anak muda melalui berbagai platform seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter). Gerakan ini membuktikan bahwa Gen Z adalah generasi yang memiliki potensi besar membawa perubahan nyata melalui media sosial, asalkan diarahkan dengan nilai dan kesadaran yang benar.
Meski memiliki potensi besar, pergerakan Gen Z juga tak lepas dari sisi pragmatisme yang kuat. Sebagai digital native, mereka terbiasa dengan kecepatan, efisiensi, dan hasil instan, sehingga dalam banyak hal aksi mereka cenderung berorientasi pada hasil yang cepat terlihat dan mudah divalidasi publik melalui like, share, atau views. Kebutuhan akan validasi sosial ini kadang membuat gerakan mereka kurang mendalam atau cepat berpindah fokus sesuai tren yang sedang viral. Maka penting bagi kita untuk mengarahkan para Gen Z agar mampu menyeimbangkan antara semangat perubahan yang mereka miliki dengan nilai keikhlasan, konsistensi, dan kedalaman berpikir.
Arah Perubahan Yang Benar
Kita tidak bisa memungkiri bahwa ruang digital dan berbagai platform media sosial serta mesin pencari hampir tidak bisa terlepas dari nilai-nilai sekuler dan kapitalistik. Algoritma yang digunakan lebih mengutamakan keuntungan ekonomi dibanding edukasi dan nilai moral. Akibatnya, konten-konten yang viral cenderung bersifat sensasional, konsumtif, bahkan sering kali menjauhkan dari nilai-nilai spiritual dan moral. Dominasi ini secara tidak langsung membentuk cara berpikir dan bertindak generasi muda. Maka Gen Z butuh dipahamkan arah perubahan seperti apa yang dapat menjadi solusi tuntas atas semua problem yang ada. Perubahan bukan hanya pergantian pemimpin, membubarkan DPR, ataupun menurunkan harga-harga kebutuhan hidup. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang menghantarkan pada perubahan sistem hidup yang menyeluruh, yang saat ini berasaskan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) menuju sistem Islam. Dengan demikian, ketika Gen Z berbicara tentang perubahan hakiki, cara yang dipakai haruslah cara yang dibenarkan oleh Islam. Mengingatkan kepada penguasa untuk menerapkan aturan yang datang dari Allah. Keberaniannya menyampaikan kebenaran merupakan bukti ketaatannya kepada Allah.
Potensi Besar Gen Z untuk kebangkitan
Sejarah peradaban Islam mencatat bahwa perubahan besar yang Rasulullah bawa dari kegelapan jahiliah menuju cahaya Islam kafah, tidak pernah lepas dari peran pemuda. Dalam hal ini Gen Z adalah bagian dari pemuda, yang mana mereka bukan sekadar pengikut atau pelengkap dakwah, melainkan pemeran yang berani, penuh energi, dan siap mengorbankan jiwa serta raga demi tegaknya islam.
Pemuda adalah sosok manusia yang memiliki keberanian untuk mengambil risiko. Al-Qur’an disbutkan tentang Ashabulkahfi,
“Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS Al-Kahfi: 13). Ayat tersebut menegaskan bahwa pemuda adalah kelompok yang berpotensi besar untuk menjadi pelopor perubahan karena keberanian mereka melawan kebatilan. Sejak awal dakwah Islam, mayoritas pengikut Rasulullah adalah para pemuda. Mereka datang dari berbagai latar belakang, tapi sama-sama memiliki semangat untuk menegakkan Islam.
Meneladani Rosulullah Untuk Mewujudkan Perubahan
Perubahan yang dibawa Rasulullah bukanlah perubahan parsial melainkan perubahan hakiki, yaitu perubahan menyeluruh dari sistem jahiliah menuju Islam kafah. Ada beberapa aspek perubahan yang diconohkan oleh Rasulullah . Pertama, perubahan akidah, yakni dari penyembahan berhala menuju tauhid. Pemuda berani meninggalkan tradisi nenek moyang demi kebenaran Islam. Kedua, perubahan fikrah (pola pikir), yakni dari fanatisme kesukuan menuju persaudaraan Islam (ukhuah islamiah). Ketiga, perubahan sistem kehidupan, yakni dari hukum buatan manusia (adat jahiliah) menuju syariat Allah yang menyeluruh (siyasah, muamalah, akhlak).
Oleh karena itu, pergerakan Gen Z perlu diarahkan untuk tidak hanya bersifat reaktif atau simbolik, tetapi juga mampu menawarkan solusi yang sistemik dan ideologis berdasarkan paradigma Islam. Kesadaran kritis yang dimiliki generasi ini harus dikembangkan agar mereka mampu melihat akar masalah dari berbagai persoalan umat—baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik—dan menimbangnya dengan kacamata syariat. Dengan demikian, perjuangan mereka tidak berhenti pada seruan emosional di media sosial, tetapi bertransformasi menjadi gerakan perubahan yang terstruktur, berorientasi pada penerapan nilai-nilai Islam secara menyeluruh dalam kehidupan.
Maka dalam hal ini dibutuhkan sinergi yang kuat antara keluarga, masyarakat, dan negara. Keluarga sebagai madrasah pertama harus membangun fondasi aqidah dan akhlak sejak dini, menanamkan nilai-nilai Islam yang menjadi filter utama dalam menghadapi derasnya arus informasi. Masyarakat harus menjadi lingkungan yang mendukung terbentuknya kepribadian Islam, dengan budaya saling menasihati, menjaga, dan menguatkan. Sementara negara memegang peran strategis dalam menetapkan arah pendidikan, kebijakan media, dan regulasi ruang digital agar berpihak pada pembentukan generasi yang unggul secara ruhiyah dan intelektual.