news

Kenaikan Cukai 19,5 Persen Ancam Industri Vape Lokal, Ribuan Pekerja Terancam Kehilangan Mata Pencaharian

Sabtu, 26 April 2025 | 18:22 WIB

Kabar24.id - Pertumbuhan pesat sektor kreatif di Indonesia kembali mendapatkan ujian berat. Kali ini, industri vape dalam negeri, terutama produsen e-liquid, berada di bawah tekanan serius akibat kebijakan fiskal yang dinilai semakin mencekik.

Sebagai respon terhadap situasi ini, Perkumpulan Produsen E-Liquid Indonesia (PPEI) menggelar diskusi publik bertema “Tarif Cukai dan Dampaknya terhadap Industri Vape Dalam Negeri” pada Jumat, 26 April 2025, di Kota Bandung.

Diskusi ini tidak hanya menjadi rutinitas biasa, tetapi berubah menjadi forum penting tempat pelaku usaha kecil menengah mencurahkan kegelisahan mereka tentang keberlangsungan sektor ini di tengah tekanan regulasi yang meningkat.

Dalam forum yang dihadiri oleh perwakilan dari Bea Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia, suara para pengusaha dan pekerja yang terimbas langsung dengan kebijakan cukai naik disampaikan secara terbuka dan lugas.

Baca Juga: Inspirasi Bisnis: Andi Harjoko Ubah Bazar Ban Sederhana Jadi Jaringan Planet Ban yang Kuasai Indonesia

Salah satu narasumber utama, Prof. Dr. Ahmad Yunani dari Universitas Lambung Mangkurat, memaparkan fakta mengejutkan bahwa kenaikan tarif cukai hingga 19,5 persen telah menyebabkan lebih dari 40 persen produsen e-liquid lokal gulung tikar.

“Dari 300 produsen, kini tersisa 170. Ini bukan sekadar statistik; ini menyangkut manusia, keluarga, dan masa depan mereka,” tegas Prof. Yunani saat memaparkan hasil penelitiannya.

Sekretaris Jenderal PPEI, Fajar, menyoroti pentingnya sektor ini dalam mendukung lebih dari 90.000 lapangan pekerjaan. Menurutnya, industri vape tidak hanya berhubungan dengan produsen, melainkan juga dengan berbagai pelaku di rantai pasok seperti pembuat botol, label, hingga jasa pemasaran digital.

“Semua dari usaha lokal. Kalau ini mati, yang mati bukan cuma bisnis, tapi harapan,” ungkap Fajar dalam sesi diskusi yang penuh emosional tersebut.

Baca Juga: Usulan Solo Jadi Daerah Istimewa Surakarta, Ini Proses dan Syarat Resmi Pembentukan Provinsi Baru

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum PPEI, Daniel Boy, menekankan perlunya kehadiran regulasi yang memberikan napas bagi industri lokal. Ia menyatakan, “Kami bukan pengemplang pajak. Kami berkontribusi. Tapi yang kami rasakan adalah tekanan, bukan dukungan.”

Cerita miris juga datang dari Riki, seorang mantan pengusaha vape yang harus menyaksikan bisnisnya runtuh akibat perubahan regulasi yang dianggap tidak memberi ruang adaptasi. “Regulasi berubah terus. Kami bukan tidak mau taat, tapi kami tak sempat bernapas,” keluhnya.

Dampak dari kebijakan ini tidak hanya berhenti pada industri kecil dan menengah. Anjloknya jumlah produsen otomatis mempersempit basis penerimaan negara, yang seharusnya menjadi salah satu sumber pajak potensial dari sektor kreatif berbasis teknologi ini.

Diskusi publik ini menjadi peringatan keras bagi para pemegang kebijakan: jika industri lokal terus ditekan tanpa strategi perlindungan yang jelas, bukan hanya bisnis yang hilang, melainkan juga harapan untuk menciptakan ekonomi kreatif yang mandiri.

Halaman:

Tags

Terkini