Kabar24.id - Di balik gemerlap panggung sirkus, ternyata tersimpan kisah kelam yang nyaris tak terungkap selama puluhan tahun.
Selasa, 15 April 2025, sejumlah mantan pemain sirkus dari Oriental Circus Indonesia (OCI) akhirnya angkat bicara dalam audiensi bersama Kementerian Hukum dan HAM. Dalam pertemuan yang emosional itu, mereka mengungkap kisah pilu yang selama ini terbungkam.
Mereka mengaku direkrut sejak kecil dengan dalih adopsi untuk pendidikan, namun kenyataannya dijadikan aset eksploitasi dengan bayaran murah bahkan tanpa perlindungan hukum.
Baca Juga: Paula Verhoeven Menangis Usai Putusan Cerai, Ungkap Alasan Seret Hakim ke Komisi Yudisial
Di usia yang masih belia, mereka harus berlatih keras, tampil tanpa henti, dan menanggung derita fisik serta mental.
Ida, salah satu korban, bercerita bagaimana ia mengalami patah tulang akibat jatuh saat pertunjukan, namun tidak segera dirawat secara medis.
Ia baru dibawa ke rumah sakit setelah kondisinya memburuk. Pengalaman traumatis itu menjadi titik balik dalam hidupnya hingga akhirnya bisa bertemu orang tuanya kembali.
Baca Juga: Alasan Pemerintah Dorong Penggunaan eSIM, Bukan Sekadar Ganti Kartu SIM
Kisah Butet bahkan lebih mengerikan. Dalam kondisi hamil, ia tetap diwajibkan tampil di atas panggung. Ia dirantai, dipukul, dan tak diizinkan menyusui anaknya sendiri.
Bahkan, ia pernah dipaksa memakan kotoran gajah sebagai bentuk hukuman yang tidak masuk akal. Luka fisik dan batin itu membekas hingga kini.
Fifi, putri Butet, juga tak luput dari perlakuan tak manusiawi. Diambil sejak bayi dan dibesarkan oleh salah satu pimpinan sirkus, ia mengungkap bahwa dirinya pernah disiksa dengan cara disetrum bagian tubuh sensitif, hingga harus kabur di tengah malam melalui hutan demi melarikan diri.
Baca Juga: Utang Meningkat Saat Ramadan, OJK Wanti-Wanti Risiko Finansial Masyarakat
Kementerian Hukum dan HAM pun menanggapi serius laporan tersebut. Wakil Menteri HAM Mugiyanto menyatakan bahwa pihaknya akan memanggil manajemen Taman Safari Indonesia, meski lembaga tersebut membantah adanya keterlibatan langsung.
Kasus ini menyoroti lemahnya perlindungan hukum terhadap anak dan pekerja hiburan pada masa lalu. Meskipun sebagian besar insiden terjadi sebelum UU HAM diterbitkan, Mugiyanto memastikan bahwa pelaku tetap bisa dijerat berdasarkan hukum pidana nasional.