Menurutnya, ide tersebut berasal dari beberapa kasus di Amerika dan Eropa yang menarik perhatian pelaku.
“ABH hanya melakukan peniruan sebagai bentuk inspirasi. Tidak ada kaitan dengan jaringan mana pun,” jelas Eka.
Ia menegaskan bahwa kejadian ini belum termasuk dalam kategori tindak pidana terorisme.
Inspirasi tersebut terlihat dari beberapa simbol yang ditemukan pada senjata mainan milik pelaku.
Eka menambahkan, sejak awal tahun pelaku sudah mulai melakukan pencarian informasi terkait aksi kekerasan di situs luar negeri.
Pelaku disebut mulai terpengaruh setelah mengalami perlakuan yang dianggap tidak adil di lingkungan sekitarnya.
“Nah, di situ muncul motivasi dendam, perasaan tertindas, dan pencarian cara untuk menyalurkan kemarahan,” ujar Eka.
KPAI Pastikan Pendampingan Hukum untuk Pelaku ABH
Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, menegaskan bahwa pelaku akan mendapatkan pendampingan hukum sesuai ketentuan perlindungan anak.
Ia menyatakan proses hukum terhadap ABH tidak boleh disamakan dengan pelaku dewasa.
“Prosesnya harus berspektif anak dan dilakukan demi kebaikan anak,” kata Margaret.
Menurutnya, KPAI akan berkolaborasi dengan kepolisian dalam seluruh tahapan pemeriksaan dan persidangan.
“Tentu tidak boleh ditinggalkan adanya pendampingan hukum, agar hak-hak anak tetap terpenuhi,” lanjutnya.
KPAI juga menyoroti pentingnya sistem perlindungan dan keamanan di satuan pendidikan.
“Belajar dari kasus ini, sekolah harus memperkuat implementasi sekolah ramah anak secara maksimal,” tegas Margaret.